Perang Data Orang Miskin
Presiden SBY telah mengeluarkan statement yang bisa ditafsirkan sebagai sebuah serangan balasan atas kritik pedas yang diajukan ke alamatnya berkait angka kemiskinan. Tampaknya SBY mulai gerah diserang oleh Wiranto yang menggunakan data garis kemiskinan dari Bank Dunia, dan SBY menyerang balik dengan menggunakan data versi BPS.
Masing-masing bersikukuh bahwa data yang digunakan adalah valid, dan yang menuduh yang lain menggunakan data orang miskin untuk kepentingan politik. Kenyataannya adalah: Kedua belah pihak; SBY dan Wiranto sama-sama melakukannya, menggunakan data orang miskin untuk mencari dukungan, dua-duanya mempolitisir angka kemiskinan untuk sebuah jabatan.
Kita tak bisa memverifikasi kebenaran data kedua belah pihak, namun yang pasti ditengah pertarungan data itu, orang miskin di Indonesia memang makin kesulitan.
Memang metode dan sample yang diambil Bank Dunia dan BPS berbeda, sehingga menghasilkan output dan kesimpulan yang berbeda. Menurut saya, itu sah-sah saja. Biar saja masing-masing pihak memaparkan kepada publik, metode, sample, dan output yang mereka hasilkan, dan biarkan publik menjadi juri atas informasi yang diberikan, kesimpulan siapa yang lebih layak dijadikan acuan.
Saya tidak mendukung Wiranto atau siapapun, bukan pula anggota barisan pembenci SBY, namun bagi saya yang awam ini, untuk membuktikan kalau terjadi sesuatu yang tidak benar terhadap BPS, cukup mudah. Kriteria miskin yang diajukan sehingga menghasilkan angka spektakuler tentang kemiskinan itu merupakan sebuah pembodohan. Angka garis kemiskinan yang diambil adalah garis kematian, bukan garis kemiskinan. Mungkin kata-kata ini terlalu hiperbolik, tapi kenyataannya siapa yang bisa hidup dengan 170 ribu sebulan di kota seperti Jakarta?
Terkait policy selanjutnya untuk menanggulangi kemiskinan, semua punya kewajiban besar mengajukan wacana perbaikan kondisi miskin ini, tentu dengan level kewajiban yang berbeda, sesuai dengan fungsi dan kemampuan kita. Tugas untuk mencari solusi tak hanya tugas para ekonom pengkritik, tetapi aparat pemerintah justru menjadi pemangku tugas utama.
Aparat pemerintah dibayar dari pajak dan hasil kekayaan negara untuk berpikir dan mengambil kebijakan yang bisa membawa kemakmuran bagi bangsa ini. Mereka tidak boleh marah menghadapi kritik yang diajukan atas kebijakan dan strategi yang salah. Jika mereka tak mau dikritik, maka berhentilah jadi aparat pemerintah, berhentilah terima uang rakyat, jangan hanya mau terima uang tapi tak mau berpikir!
Hebat euy, ada ********* **** ******** bank mau nulis komentar pedes soal kemiskinan. Kirain udah cuek dalam kenyamanannya Bos!
@Remi
mohon maaf, jabatan saya yang Anda tulis terpaksa saya edit 🙂
btw, ini satu-satunya komen yang saya edit dari sekitar 900-an komen di blog ini. Bukan saya tak demokratis, namun penyebutan pangkat/atau jabatan itu buat saya personal sekali 🙂
However, terima kasih sudah mampir 🙂
Lho.. yg 170 rb sebulan itu masih dilestarikan sampe sekarang tho?? ya ampun…, perasaan gw bacanya itu waktu tahun 2006 deh.
Btw, 170rb sebulan bisa aja sih. Tapi makannya cuman seminggu 3 kali, sisanya minum air rebusan batubata wehehehe… 😆
Btw, pengen rasanya nangkep yg bikin garis 170rb itu trus dijatahi belanja cuman 170rb/bulan. Pengen liat tuh makhluk bisa survive brapa lama… 😆
@CY
biasannya sih direvisi, tapi demi kompromi biar datanya gak terlalu menakutkan, maka paling-paling naiknya jadi 185 sd 200 ribu. Tetep aja gak manusiawi, IMHO. Kalo direvisi berdasarkan kebutuhan hidup minimum, bisa jd angkanya sangat fantastis dan pemerintahan sekarang bisa anjlok reputasinya. Maklum, tahun depan udah pemilu…
Hmm… memang selalu kenyataan terlalu pahit utk diungkapkan secara jujur. 😦
@CY
dan banyak orang gak mau mengungkapkan kejujuran 😦
😐
kalo orang di atas sana yang ribut, di bawah cuma bisa melongo nunggu beras ndak dateng dateng..
@tikabanget
iya kalo berasnya jadi dateng… 😦
BPS..
BPS..
:-w
@trijokobs
😆
Mas, boleh minta data mentah kedua-duanya, versi BPS dan World Bank ? Kalau ada data yang sampai ke provinsi / kota / kabupaten. Saya kerja di wilayah Sumbagsel yg meliputi Provinsi Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Babel. Tks.
@pitusiji
Untuk BPS cob buka website mereka. Menurut BPS garis kemiskinan adalah orang yang hidup dengan biaya di bawah Rp 166.000 per bulan, jumlahnya sekitar 17 jutaan. Sedangkan World Bank menggunakan parameter orang miskin adalah mereka yang hidup dibawah 2 doalr AS per hari (sekitar 18.500 per hari atau Rp. 555.000 per bulan), dengan parameter ini, hampir separuh rakyat Indonesia masih masuk kategori miskin.