Lanjut ke konten

Penumpang Gelap Demokrasi

Februari 12, 2008

Hampir sepuluh tahun setelah reformasi digulirkan, tapi perbaikan –khususnya di bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat- yang diharapkan tak juga datang. Kini banyak orang menuding bahwa demokrrasi yang diperjuangkan oleh para penggerak reformasi telah gagal. Ekonomi tak beranjak membaik, kesejahteraan masih jauh, dan korupsi tetap merajalela bahkan sampai ke daerah.

Betapa menyedihkan bahwa telah terjadi miskonsepsi dalam masyarakat kita, bahwa demokrasi telah gagal di negeri ini, dan mereka mengusulkan “cara lain” untuk diimplementasikan. ”Cara lain” itu merujuk pada cara ketika otoritarian berkuasa. Banyak yang merindukan situasi tahun 80-an; ekonomi tumbuh tinggi, beras murah, BBM murah, dan kita tampak bahagia.

Tampaknya banyak yang lupa, betapa tahun 80-an itu kita masih punya banyak sawah yang belum dikonversi menjadi pemukiman dan pabrik, iklim relatif bersahabat, produksi minyak harga minyak dunia masih cukup murah, dan yang terpenting; kita menumpuk hutang luar negeri untuk subsidi. Kita lupa bahwa kita sekarang harus membayar hutang yang ditumpuk waktu itu. Ternyata banyak orang yang senang dengan kondisi “yang penting perut kenyang meski bermimpi pun kita dilarang”.

Adalah tidak benar jika demokrasi kita telah gagal. Demokrasi memang bukan aturan main ideal jika idealitas itu diukur dengan parameter ”menyenangkan dan memuaskan semua pihak”. Tapi demokrasi diyakini merupakan aturan main terbaik yang tersedia saat ini dimana semua kepentingan diakomodasi sesuai proporsi masing-masing.

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini bukan karena kita salah memilih demokrasi sebagai aturan main, melainkan banyaknya penumpang gelap demokrasi yang banyak menimbulkan distorsi pada kehidupan. Distorsi ini yang kemudian menjadi pembenaran bagi mereka yang anti-demokrasi. Distorsi dimaksud telah masuk ke dalam banyak bidang, politik, ekonomi, pers, bahkan kehidupan intelektual. Ya, penumpang gelap demokrasi telah mendistorsi nilai demokrasi sehingga rakyat yang kian lelah akibat himpitan ekonomi menilai demokrasi membuat ekonomi dan kehidupan menjadi sulit.

Penumpang gelap demokrasi di Indonesia telah berhasil menguasai sumberdaya politik, dan dengan sumberdaya politik di tangan, mereka juga mulai menguasai sumberdaya ekonomi. Penguasaan sumberdaya ekonomi ini tak melulu menggunakan tangan mereka sendiri, namun bisa juga menggunakan tangan orang lain dimana aturan main telah disiapkan sehingga semua itu sah jika dinilai secara legal formal; valid jika dipandang dengan kacamata demokrasi prosedural.

Kondisi distortif itu, dimana sumberdaya politik dan ekonomi terkonsentrasi dan dikuasai oleh pihak tertentu membuat sendi-sendi kehidupan menjadi labil. Politik selalu bergejolak, karena seringkali kepentingan yang dibawa para elite penguasa berbenturan dengan kepentingan publik yang lebih luas. Celakanya, kepentingan publik mesti dinafikkan karena sumberdaya dan akses terhadap kekuasaan tetap dalam genggaman segelintir elite. Suksesi di tubuh KPK mungkin bisa menjadi contoh mutakhir betapa kepentingan elite bisa menelikung harapan publik.

Sendi-sendi kehidupan makin labil ketika ekonomi yang yang berjalan juga mengalami distorsi. Penguasaan pasar, monopoli dan konsentrasi terhadap produksi maupun distribusi kebutuhan dasar membuat mekanisme pasar tak bisa berjalan normal. Rakyat banyak tergantung dari belas kasihan dan sejuta kepentingan para pemilik modal. Tak heran, di negara yang banyak rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan ini, harga-harga barang pokok justru harus dibayar lebih mahal; beras, minyak goreng, BBM, bahkan pendidikan menjadi barang supermewah bagi banyak kalangan.

Alih-alih untuk mengentaskan kaum miskin, justru para pihak di negeri ini saling silang sengketa mengenai parameter pengukuran kemiskinan, jumlah, dan publikasi data orang miskin. Para elite bersengketa tentang data di atas kertas dan lupa banyak anak-anak lapar dan buta huruf berkeliaran di jalan-jalan di depan kantor mereka.

Rasa prihatin ini juga makin lengkap manakala mulai terlihat, kaum intelektual yang selama ini diharapkan menjadi garda terdepan penjaga nilai-nilai luhur demokrasi telah pula mulai ternoda. Godaan materi nampaknya masih menjadi faktor yang menentukan, sehingga kita bisa melihat betapa kini ilmuwan dapat dibeli, analisis yang bias, kesimpulan yang misleading dan mengaburkan kebenaran hakiki. Demokrasi prosedural sekali lagi dijadikan pembenaran. Intelektualitas telah terkooptasi kepentingan politik dan ekonomi elite, dan kini sebagian intelektual tak lagi punya nilai di mata masyarakat selain sebagai komprador pemilik modal.

Pers sebagai pilar keempat demokrasi ternyata telah pula diselingkuhi para penumpang gelap demokrasi ini. Media tak lagi netral dalam menyuarakan kepentingan publik dan kebenaran universal, tapi seringkali justru menyuarakan pembenaran atas tindakan yang diambil para pemilik kekuasaan, baik penguasa politik maupun penguasa ekonomi.

Kritik dan masukan yang seolah gencar disiarkan media, jika dicermati secara hati-hati akan terlihat ”kemasan” yang melingkupinya. Kemasan cantik bernama kepentingan publik itu seringkali juga ditunggangi kepentingan pemilik media atau afiliasinya.

Kondisi di atas seolah menjadi pembenaran bagi para antidemokrasi untuk menyuarakan pendapat mereka bahwa demokrasi telah gagal, demokrasi tak sesuai dengan budaya Indonesia, maka dari itu demokrasi harus dicabut dari bumi Indonesia.

Demokrasi jangan pernah mati dari bumi pertiwi. Kita harus mampu menjaganya dengan menendang keluar para penumpang gelap itu dari gerbong demokrasi. Mengembalikan intelektual pada posisinya sebagai penjaga terdepan nilai luhur demokrasi, menempatkan pers sebagai pilar penting keempat dan sekaligus watchdog yang netral.

Terakhir, kita semua –saya dan Anda– harus berani berubah dengan tak lagi membeli koran dan menonton TV yang partisan, tak lagi mendengarkan komentar para intelektual bayaran, dan yang paling penting tak lagi memilih para penumpang gelap demokrasi ketika tiket itu di tangan kita pada setiap putaran Pemilu dan Pilkada.

6 Komentar leave one →
  1. Februari 12, 2008 9:03 pm

    Susah hidup di negeri sarang penyamun.

  2. Februari 13, 2008 7:36 am

    @Blog Dokter,
    Bener, Bro. Kita mesti teguh hati untuk tak tergoda jadi “penyamun” 🙂

  3. Februari 16, 2008 6:20 pm

    Setuju Bung Novri….
    Daripada kita terus menerus menyesali kegelapan, bukankah lebih baik kita menyalakan lilin yg dapat menerangi jalan keluar…oder?

  4. Februari 17, 2008 11:53 am

    @Baynurwi
    Thanks, sebenernya kita bisa lakukan perubahan, asal berani berkorban untuk merasa tidak nyaman sebentar 🙂

  5. Februari 17, 2008 11:30 pm

    hehehehe… kadang kalo meliat ke depan yang ada hanya kegelapan, kalo kata pak baynurwi sebaiknya kita menyalakan lilin.. tapi sangat indah kalo seandainya bukan kita saja yang berdiri dalam gelap sambil menyalakan lilin, satu lilin hanya menerangi sekitar kita. seandainya semua lilin menyala……………
    😆

  6. Februari 19, 2008 8:30 am

    @almas
    yup, seandainya semua menyalakan lilin.
    Tapi kalo gak semua mau, sebagian juga mesti berani menyalakan petromaks; meski risikonya besar.

Tinggalkan Balasan ke n0vri Batalkan balasan